Allah atau Yahwe ???


The history Of Allah
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil resensi buku “The History Of Allah” yang ditulis oleh Bambang Noorsena maka penulis mendapati hal-hal yang penting berkaitan dengan Apologetik Bambang Noorsena dalam mengklarifikasi kata “Allah” yang pada dewasa ini diklaim menjadi milik kaum/agama tertentu dan juga bagi mereka yang menolak untuk memakai nama atau kata Allah dalam kepercayaan mereka.
            Oleh sebab itu penulis akan mencoba untuk menjelaskan strategi dan juga akan merekonstruksikan apologet yang digunakan oleh Bambang Noorsena dalam bukunya, yang menjadi acuan penulis dalam menyikapi hal ini sebagai bagian dari "Apologetika Kristen". Dan ini juga yang merupakan garis besar/inti sari dari buku ini, oleh sebab itu penulis akan memaparkan inti sari dari buku ini yaitu sebagai berikut :
1.      Model Apologetika yang digunakan.
Sebagaimana yang dipelajari dalam mata kuliah Apologetik, di sana kita temukan model-model apolegetika seperti  apologetika bertahan (defend), apologetika menyerang (Attack) dan juga apologetika yang sifatnya menyingkapkan kesalah-pahaman (mis-understanding). Melalui buku ini Bambang Noorsena memang menggunakan model-model ini, tetapi yang ditemukan oleh penulis setelah membaca dan meringkas inti sari dari buku ini, maka penulis menyimpulkan bahwa apologetika yang digunakan Bambang Noorsena dalam bukunya adalah “Apologetika Paralelisasi”. Maksudnya adalah apologetika yang ada, Bambang Noorsena mencari titik-titik persamaan (paralel) dan menjadikan persamaan yang ada untuk menyampaikan imannya atau kebenaran yang hakiki.
2.      Sasaran dari apologetika Bambang Noorsena
Dalam buku ini penulis menemukan tiga sasaran apoletika yang menjadi dasar apoletika Bambang Noorsena dalam buku ini, yaitu sebagai berikut:
a.       Kaum Islam
Beberapa waktu yang silam sempat muncul isu di Malaysia dan juga di Indonesia yang diprakarsai oleh kaum fundamentalis Islam yang melarang umat Kristen untuk memekai/menggunakan kata “Allah” karena mereka beranggapan bahwa kata “Allah” itu adalah milik agama Islam, sehingga tuntutan demi tuntukan dikumandangkan oleh mereka (fundamentalis Islam) baik melalui dakwa-dakwa mereka maupun melalui jalur hukum.
b.      Saksi-Saksi Yehuwa
Saksi-Saksi Yehuwa merupakan musuh dalam selimut bagi orang-orang Kristen; karena mereka berbaju Kristen namun pemahan dan pengajarannya justru bertentangan dengan Kekristen itu sendiri.  Saksi-saksi Yehuwa bukan hanya menolak untuk memakai nama/kata “Allah” tetapi lebih dari pada itu mereka menolak Ketuhanan/Keilahian Yesus Kristus. Sehingga usaha demi usaha mereka berjuang untuk menyiarkan ajaran mereka bahkan lebih dari itu mereka berusaha meracuni orang-orang Kristen dengan ajaran-ajaran mereka yang menolak memakai kata “Allah” itu dan Ketuhan Yesus juga.
c.       Yahwenisme
Kalau Saksi-saksi Yehuwa di atas penulis kategorikan sebagai musuh dalam selimut, maka “Yahwenisme” ini penulis sebut mereka sebagai “pagar makan tanaman” bagaimana tidak ? Yahwe yang menjadi “Frem” kita dalam berteologi dan berapologet dijadikan pengajaran yang sesungguhnya oleh mereka. Mereka berusaha untuk mengganti seluruh kata “Allah” dalam Alkitab baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dengan kata “Yahwe” bahkan literature-literatur mereka dalam hal ini Buku, majalah, traktak dan sebagainya menggunakan kata Yahwe semua sebagai pengganti kata “Allah”
Ketiga paham ini yang sesungguhnya menjadi sasaran Bambang Noorsena dalam berapologetika melalui buku “The History Of Allah” ini.
Dalam buku ini yang secara umum membahas tentang sejarah kata “Allah” itu dan berusaha untuk menjelaskan makna sesungguhnya dari kata “Allah” itu kepada pihak-pihak yang menolak untuk menggunakan kata “Allah” baik itu karena alasan teologis maupun karena alasan historis dan juga kepada mereka yang menganggap bahwa kata “Allah” adalah milik mereka sehingga kita  dilarang untuk tidak boleh menggunakan kata “Allah” tersebut.
Penulis menyadari bahwa pembahasan dalam buku ini sangat luas cakupannya, sehingga akan membuat pembahasan ini tidak begitu mendalam, maka penulis membatasi pembahasan kepada mereka yang menolak untuk menggunakan kata/nama “Allah”. Lebih tepatnya penulis hanya membahas bab 11 dalam buku ini yang dengan tema: Mencari Nama Yahwe dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru.
BAB II
MENCARI NAMA YAHWE DALAM KITAB-KITA PERJANJIAN BARU
Para pengagung empat huruf YHWH, dari “saksi-saksi Yehuwa” (Jehovah’s Witnesses) sehingga munculnya kelompok pengagung Yahwe akhir-akhir ini, berusaha keras untuk menemukan nama YHWH dalam Perjanjian Baru. Usaha ini ternyata sia-sia belaka, karena memang tidak ada teks asli Perjanjian Baru berbahasa Ibrani. Selain itu, sejarah penerjemahan kitab-kitab Perjanjian Lama membuktikan, bahwa terjemahan dalam bahasa kuno, mulai dari Koptik, Syria, Latin, Armenia, Etiopia, Arab, dan sebagainya, ternyata hanya mengikuti Septuaginta yang tidak mempertahankan tetagramaton itu. Faktanya, Yesus dan para rasul-Nya sendiri, juga tidak mempertahankan secara harafiah nama ilahi YHWH, dan mengkuti tradisi Yahudi pada zaman itu, tradisi yang masih berlaku hingga zaman sekarang ini.
Makna nama YHWH sebagai “ Ia ADA” bukan dalam arti filosofis (really exist) melainkan “ADA bagi umat-Nya”.  Bagi setiap orang yang mengalami pekerjaan-Nya, maka YHWH itu ADA bagi mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mengalami penyertaan dan kuasa-Nya, Dia tidak ADA bagi mereka.
Tetagramaton (YHWH) dalam Beberapa Edisi Kritis Kitab Suci
Sejak zaman rasuli gereja tidak mempertahankan YHWH, tetapi dalam berbagai penerbitan kritis Kitab Suci, khususnya untuk kepentingan kajian kritis, keempat aksara nama ilahi itu muncul. selain menerbitkan naskah Ibrani Perjanjian Lama sejajar dengan Septuaginta, Akwila, Simakhus, dan Teodotion, Origen dari Iskandariya juga  menerbitkan naskah Ibrani itu dalam transliterasi aksara Yunani, dan nama ilahi itu ditransliterasikan dalam huruf-huruf Yunani.
Patut dicatat bahwa tetagrammaton tidak diucapkan,  melainkan dibaca dengan kata lain: Adonai (Tuhan) atau ha Syem (sang nama). Tetagramaton untuk pertama kalinya tercantum dalam Alkitab bahasa Inggris karya William Tyndale (1225 M). Tyndale membaca IeHoVaH, dimana konsonan YHWH dibaca dengan huruf vokal atau huruf-huruf hi-dup: AdOnAy). Pola ini diikutin kemudian oleh Mile Coverdale (1535 M), the Great Bible (1539 M), the Geneva Bible (1560 M), The Bishop’s Bible ( 1568 M) dan The Authorized Version (1611 M), meskipun secara umum memakai terjemahan The LORD, tetapi mencantumkan IeHoVaH di beberapa tempat. Akhirnya, speeling Jehovah baru muncul  dalam King James version tahun 1762-1769 M.
Sedangkan bacaan Yahwe baru muncul berdasarkan rekonstruksi para pakar Biblika. Pengucapan Yahwe tersebut, antara lain didasarkan atas beberapa tanskripsi teks Yunani atau kata Ibrani: Iaoue, Iaouai, dan Iabe yang berasal dari sekitar abad pertama sebelum dan sesudah Kristus. Karya Klement dan Flavius Josephus mengenai bacaan tetagramaton, di jadikan acuan pula.
Patut dicatat pula, baik Josephus maupun Klement, ketika membahas bacaan tetagramaton tersebut, mereka tidak bermaksud memeprtahankan huruf-huruf itu, tetapi lebih karena usaha kajian ilmiah. Jadi sangat berbeda dengan gerakan Yahwe baru-baru ini, atau sekte saksi-saksi Yehuwa yang muncul sebelum itu.
Ha b’rit Ha Hadasah (Perjanjian Baru Ibrani): Bukan Teks Asli.
Fakta bahwa diantara banyak terjemahan itu terdapat perbedaan, adalah wajar-wajar saja, karena memang bukan teks asli. Tetapi menjadi aneh bin ajaib, kalau kelompok para penganut empat huruf itu mengambil salah satu terjemahan Ibrani modern, lalu seolah-olah memberlakukannya sebagai teks Perjanjian Baru.
Lebih para lagi, berdasarkan teks terjemahan itu mereka mencoba untuk mengkoreksi teks asli Yunani. Mereka tidak mempercayai keakuratan teks Perjanjian Baru, tetapi anehnya mereka tidak bisa mengajukan bukti adanya teks asli Ibrani.
Meskipun begitu, para teolog tersebut, seperti Matthew Black sendiri, tetapi menghormati teks asli Yunani,  sekalipun mereka membedahnya dengan berbagai pendekatan kristis (kritik teks, kritik bentuk, kritik sastra, dan sebagainya).
Menyerang Integritas Teks Perjanjian Baru Yunani
Berangkat dari pencarian nama Yahwe yang tidak mereka temui dalam halaman-halaman Perjanjian Baru, tak tanggung-tanggung pula, akhirnya mereka “menyerang” integritas teks Perjanjian Baru Yunani. Jadi, mengemukakan fakta seperti ini hanya untuk menyerang integritas teks-teks Yunani, adalah alasan klise yang hanya dicari-cari.
Perlu ditegaskan pula sekalipun mungkin ada perbedaan antara teks-teks Peshitta dengan Perjanjian Baru Yunani, tidak bisa kita secara serta-merta menyalahkan teks Yunani. Mengapa? Sebab dari sudut pembuktian manuskrip kuno tidak satupun teks Peshitta yang lebih kuno dari ribuan teks Yunani bahkan beberapa diantaranya berasal dari tahun yang begitu berat dengan waktu penulisan mula-mula.
Matius Ibrani Versi Du Tillet Bukti Baru “pengagung Yahwe?”
Pada bulan Agustus 1996, saksi-saksi Yehuwa mempublikasikan buku Goerge Howard, The Gospel of Matthew Acording to a Primitive Text. Publikasi ini dianggap menguntungkan doktrin mereka, khususnya dicantumkannya tetagramaton dalam sebuah Injil Matius berbahasa Ibrani yang dikenal sebagai versi Du Tillet. Du Tillet adalah hasil salinan dari naskah kuno Injil Matius yang dilestarikan oleh orang-orang Yahudi dalam rangka polemiknya terhadap ajaran iman Kristen.
Memang ada beberapa naskah Injil Matius berbahasa Ibrani, yang naskah tertuanya berasal dari abad  XIV M. Sejarah naskah ini, pertama kali diketahui tahun 1358 M, ketika seorang Yahudi bernama Shem Tob ben Shaprut dari Tudela, Psanyol, menulis bukunya Eben Bohan,  sebuah karya polemik melawan iman Kristen. Untuk pertama kalinya, Injil Matius Ibrani dikenal, karena dimuat dalam karya Shem Tob ini, yang naskahnya kini disimpan di Jewish Theological Seminary, New York.
Matius Shem Tob ini, selanjutnya diterbitkan di Basel, Switzeland, tahun 1537 M, setelah direvisi oleh Sebastian Munster. Naskah ini selanjutnya dikenal dengsn naskah Munster, yang lalu diterbitkan kembali oleh Johannes Quinquarboreus, di Paris tahun 1551 M, dan kini disimpan diperpustakaan New York. Dan terakhir,  Jean Du Tillet menerbitkan Injil Matius Ibrani ini pada 1555 M.
Catatan tertua bahwa Rasul Matius menulis Injil dalam bahsa Ibrani ini, dapat dijumpai dari fragmen-fragmen Papias (70-155), murid Rasul Yohanes, Eusebius dalam bukunya Tarikh al-Kanisah 9Sejarah Gereja) III,39 demikian: “Dan Matius menulis perkatan-perkataan Tuhan dalam bahasa Ibrani lalu masing-masing orang meneruskannya menurut kemampuan mereka masing-masing.”
Informasi Eusebius ini, sampai hari ini masih menjadi perdebatan para ahli. Pertama, benarkah yang dimaksud Injil oleh Papias itu adalah sebuah kitab lengkap yang ditulis Matius, ataukah hanya kumpulan “perkataan-perkataan Tuhan”, yang kemudian dinarasikan dalam bentuk Injil Matius Yunani seperti yang kita warisi sekarang ? Kedua, kalau yang dimaksud “dialek Ibrani” benar-benar berarti bahasa Ibrani, dan bukan “gaya Ibrani” seperti yang hendak disangkal banyak ahli, masih menjadi masalah, apakah maksudnya “bahasa Ibrani klasik”, ataukah bahasa “Ibrani dialek tutur Galilea” yang tidak lain bahasa Aram, seperti yang dipercayai oleh gereja-gereja bahasa Syria/Aram.
Secara praktis bahasa Aram berbeda dengan bahasa Ibrani klasik, tetapi pada zaman Yesus bahasa Aram disebut juga sebagai bahasa Ibrani. Sejarawan Yahudi, Flavius Yosephus, memberitahukan kepada kita bahwa ia menulis bukunya The Jewish War dalam “bahasa Ibrani”, meskipun kenyataannya ia menulis “dalam dialek Ibrani”, yaitu bahasa Aram.
Karena pada zaman itu bahasa Aram, kendati-pun dibedakan dari bahasa Ibrani sebagai “bahasa Kitab Suci”, tetapi bahasa Aram hanya dianggap sebagai dialek bahasa Ibrani tutur Galilea. Bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani dijumpai bersama-sama di wilayah Israel pada abad pertama Masehi. Jadi, dapat disimpulkan masih terlalu jauh untuk mengatakan bahwa data-data gereja paling kuno tersebut mendukung adanya sebuah Injil berbahasa Ibrani klasik. Tetapi kalaupun memang ada, dan seandainya Du Tillet benar-benar merupakan salinan dari Injil Matius Ibrani asli itu, sama sekali juga tidak dapat disebut sebagai bukti pendukung Saksi-saksi Yehuwa, maupun kelompok baru yang menamakan diri mereka “Pengagung Yahwe” itu. Mengapa ? berikut ini beberapa alasan singkat:
Pertama, tidak aneh kalau ada kitab berbahasa Ibrani terdapat nama YHWH, sebab kitab-kitab terjemahan Ibrani PB modern-pun semua juga memuat nama itu. Baru menjadi bukti kalau ada buku-buku Perjanjian Baru terjemahan kuno dari masa rasuli ada nama ilahi itu. Data-data Qumran membuktikan YHWH diterjemahkan dalam bahasa Aram, sedangkan fragmen-fragmen itu berasal dari zaman yang sama. Itu artinya, komunitas-komunitas religius abad pertama, termasuk kaum Esenne, tidak keberatan menerjemahkan tetagramaton tersebut.
Kedua, Saksi-saksi Yehuwa secara terang-terangan mengakui bahwa dalam teks-teks Yunani tertua Perjanjian baru memang tidak ada nama YHWH. Dalam salah satu publikasi, mereka mengatakan bahwa dalam Perjanjian Baru, tetagramaton itu hanya terdapat dalam Kitab Wahyu. Sedangkal itu argumentasi mereka? Dalam bahasa apapun juga, kalau kita mempertahankan sebuah seruan asing, tentu tidak berarti mempertahankan kata demi kata dalam bahasa lain.
Sekali lagi, kalaupun bisa dibuktikan naskah Du Tillet adalah hasil salinan dari Injil Matius asli Ibrani, sama sekali bukan menjadi bukti keabsahan dipertahankannya tetagramaton. Hal itu dapat dibandingkan dengan Biblica Hebraica atau semua terbitan Perjanjian lama dalam bahasa Ibrani, sudah barang tentu pasti memuat nama YHWH. Masalahnya, fakta itu sama sekali tidak membuktikan bahwa dalam bahasa-bahasa lain orang Yahudi juga mempertahankan tetagramaton itu. Lagi pula dalam edisi Syem Tob YHWH tidak ditulis lengkap, melainkan dengan kode “hy” (ha Syem/baca: Hasy syem, “Sang Nama”) suatu metode yang lazim digunakan orang-orang Yahudi untuk menuliskan Nama YHWH, dari dahulu sampai sekarang.
Itu berarti, naskah tersebut juga mengikuti kebiasan Yahudi untuk membaca YHWH menjadi “Sang Nama”. Artinya, karena memang ditulis dalam bahasa Ibrani, dimana tetagramaton itu berasal, meskipun mereka membacanya dengan bacaan lain. Nah, karena kitab-kitab itu disalin dalam bahasa-bahasa lain, YHWH itu tidak dipertahankan secara harafiah, melainkan telah diterjemahkan dengan kata lain, meskipun makna nama itu tetap dikidungkan dalam bahasa-bahasa yang berbeda.
BAB III
      TANGGAPAN ALKITAB
Tanggapan atau pandangan Alkitab mengenai pengajaran Saksi-saksi Yehuwa dan “Yahwenisme” mengenai nama Allah dapat diklarifikasi oleh Alkitab sendiri, yaitu sebagai contoh seperti ini
Perjanjian lama itu mengajarkan Allah itu Esa
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!” (Ulangan 6:4) Shma`, Yisra’el!  Yhwh ‘Eloheynuw Yhwh ‘echad!” (transliterasi teks Ibrani)
BAB IV
TANGGAPAN PENULIS
Menurut penulis dalam menanggapi buku ini, maka dengan penuh kayakinan penulis mendukung apa yang menjadi pendapat Bambang Noorsena dalam bukunya takkala ia  menyanggah doktrin para Saksi-saksi Yehuwa yang berusaha untuk mempertahankan tetagramaton (empat huruf ilahi) YHWH dalam semua terjemahan Alkitab. Begitu juga bagi mereka yang mengagungkan nama Yahwe “Yahwenisme”, yang kurang lebih sama dengan Saksi-saksi Yehuwa, mereka berusaha untuk mengantikan kata “Allah” dalam Alkitab dengan kata “Yahwe”. Padahal sejarah gereja yang didukung oleh fragmen-fragmen/salinan-salinan Kitab Suci ke dalam berbagai bahasa justru tidak mempertahankan tetagramaton ini dalam salinan tersebut. Ini membuktikan bahwa apa yang menjadi doktrin para Saksi-saksi Yehuwa dan para penganung nama Yahwe “Yahwenisme” ini justru tidak berdasar sama sekali.
Ada beberapa alasan penuklis dalam menolak ajaran para saksi-saksi Yehuwa dan para pengagun nama Yahwe “Yahwenisme” yaitu sebagai berikut :
1.      Alasan Teologis
Secara teologis penulis menolak ajaran para Saksi-saksi Yehuwa dan Yahwenisme, mengapa ? karena jikalau kita melihat sejarah atau latar belakang penggunaan tetagramaton YHWH ini, maka di sana kita menemukan bahwa empat huruf ilahi ini sangat-sangat kultus yang tidak boleh disebutkan sembarangan oleh siapapun juga.
Oleh karena itu, orang-orang Israel yang mana mereka yang dianugerahkan kata YHWY melalui leluhur mereka yang juga merupakan yaitu Nabi Musa, dalam kehidupan keagamaan mereka (Yudaisme), mereka sering mengucapkan/menyebutkan kata YHWH dengan sebutan lain yaitu dengan Adonai. Sehingga dalam pembacaan Kitab Suci takkala menemukan kata YHWH maka mereka membacanya dengan kata Adonai.
2.      Alasan Misiologis
Jikalau kita melihat dari sudut pandang misi, maka usaha untuk mempertahankan tetagramaton ini menjadi penghambat misi Tuhan dan sudah pasti Amanat Agung dalam matius 28:19-20 tidak akan tergenapi. Bagaimana tidak ? perintahnya jelas bahwa yaitu untuk “jadikan segala suku bangsa murid Kristus”, nah untuk menyampaikan injil supaya seluruh suku bangsa “menjadi murid Kristus” maka tentu kita harus menyampaikan dengan dan melalui bahasa suku bangsa tersebut. Artinya adalah dalam penyampaian ini, kita harus melalui proses kontekstualisasi dalam segala aspek termasuk di dalamnya kontekstualisasi nama Tuhan itu sendiri. Maksudnya adalah bahwa kita tidak datang dan memperkenalkan Tuhan baru bagi suku bangsa tertentu melainkan kita memberitakan Tuhan yang sudah ada melalui proses kontekstualisasi dan memberikan makna yang sebenarnya dari Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ini.
Jikalau kita ingin mempertahankan empat huruf ilahi itu atau tetagramaton itu maka sudah dijamin misi Tuhan tidak akan berkembang, karena kita akan memperkenalkan YHWHnya Saksi-saksi Yehuwa dan Yahwenya para pengagung nama Yahwe “Yahwenisme” dan itu kita pasti ditolak karena setiap suku bangsa sudah memiliki Tuhannya sendiri-sendiri.
Berdasarkan kedua alasan inilah penulis menolak ajaran, paham, dan doktrin yang disebarkan oleh Saksi-saksi Yehuwa dan para pengagung nama Yahwe “Yahwenisme” dan penulis mendukung pandangan Bambang Noorsena dalam bukunya The Histori of Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

India dan Kristen

Jumlah Silsilah Yesus dari Abraham sampai Daud

Peranan Pemuda dan Mahasiswa Amarasi (IPMARASI)